Selasa, 08 Januari 2013

Dibawa Kemana Pendidikan Kita ? -Belajar dari Jepang-



Mencermati realitas pendidikan Indonesia saat ini, kita harus jujur mengatakan bahwa  sistem pendidikan yang dibangun masih belum ideal.  Masih banyak ditemukan catatan   kekurangan dalam beberapa hal.  Misal digugatnya UAN oleh beberapa pihak, cacatnya pelaksanaan UAN karena berbagai fakta kecurangan yang dilakukan oleh oknum pendidik, tidak klop-nya pendidikan dengan dunia kerja, mahalnya biaya pendidikan, sarana pendidikan yang masih kurang memadai, dan lain-lain.
Menarik untuk mencermati pendidikan di Jepang.  Jepang mewajibkan pendidikan dasar 9 tahun bagi warganya, sama seperti kita.  Bedanya, pemerintah hingga lini terbawah siap dengan kebijakan pendidikan wajib 9 tahun tersebut.  Akses masyarakat terhadap sarana pendidikan sangat mudah, karena setiap distrik pasti memiliki SD dan SMP dengan standar kualitas yang sama di seluruh Jepang.  Dan semua biaya pendidikan dasar itu digratiskan…tis..tis…  Kecuali untuk beberapa keperluan misal karya wisata, bentou (makan siang ).
Satu hal yang juga menarik, pendidikan dasar (shougakkou -SD) tidak mengenal ujian kenaikan kelas.  Siswa yang telah menyelesaikan proses belajar di kelas satu secara otomatis akan naik ke kelas dua, demikian seterusnya. Ujian akhir pun tidak ada, karena SD dan SMP (Chougakkou ) masih termasuk kelompok compulsory education , sehingga siswa yang telah menyelesaikan studinya di tingkat SD dapat langsung mendaftar ke SMP.  Lantas, bagaimana mengevalusi para siswanya ?
Tentu saja tetap ada proses evaluasi.  Guru tetap melakukan ulangan sesekali untuk melihat kemampuan dan daya serap murid terhadap pelajaran.  Nilai yang diberikan bukan berupa angka, tapi huruf A, B, C, kecuali untuk pelajaran matematika. Nanti di kelas 4, 5 dan 6 SD para murid diberikan test IQ untuk melihat tingkat kemampuannya.  Tapi hasil test itu bukan bertujuan untuk mengelompokkan para murid.  Sistem pendidikan di Jepang tidak mengenal klasifikasi kelas berdasarkan tingkat kecerdasan siswa (ada kelas unggulan, sekolah unggulan dan seterusnya, seperti di Indonesia ).  Semua kelas terdiri dari anak-anak dengan beragam tingkat kecerdasan. Jepang juga tidak mengenal sistem pemberian ranking atau peringkat kepada muridnya.  Sehingga semua murid tak ada yang merasa lebih dari teman-temannya.  Hasil test IQ tersebut nantinya digunakan untuk memberikan perhatian “lebih” kepada murid dengan IQ di atas normal dan di bawah normal.
Kantor pemerintah pada lini terbawah (distrik ) mempunyai data lengkap tentang penduduk di wilayahnya, termasuk data anak yang sudah masuk usia sekolah (sudah berusia 6 tahun atau lebih hingga bulan Maret tahun tersebut ). Orang tua akan dikirimi surat oleh kantor distrik yang berisi panggilan untuk memasukkan anaknya ke sekolah, berikut daftar SD negeri yang terdekat dari tempat tinggalnya.  Anak tidak diperbolehkan mendaftar SD dan SMP di luar wilayah tempat tinggalnya karena mereka mulai dididik untuk mandiri.  Anak-anak di Jepang semenjak SD tak diperkenankan untuk diantar orang tuanya ke sekolah.  Nah, bagaimana jika penduduk di distrik tersebut sedikit ?  Pendidikan di kelas tetap berlangsung walau hanya dihuni oleh 10 orang siswa sekalipun.
Untuk menjamin kualitas pendidikannya, pemerintah mengontrol dengan ketat seluruh sekolah di Jepang.  Kualitas sekolah negeri di semua distrik sama, dalam arti fasilitas sekolah, bangunan, tenaga pengajar dengan persyaratan yang sama (guru harus memegang lisensi mengajar yang dikeluarkan oleh Educational Board setiap prefecture ). Oleh karena itu mutu siswa SD dan SMP di Jepang yang bersekolah di sekolah negeri dapat dikatakan “sama”, sebab Ministry of Education mengondisikanequality di semua sekolah.
Di tingkat SMP dan SMA – sama seperti di Indonesia – ada dua kali ulangan, mid test dan final test, tetapi tidak bersifat wajib atau nasional. Hanya beberapa prefecture saja yang melaksanakan final test.  Final test dilaksanakan serentak selama tiga hari, dengan materi ujian yang dibuat oleh sekolah berdasarkan standar dari Educational Board di prefecture tersebut. Penilaian kelulusan siswa SMP dan SMA tidak berdasarkan hasil final test saja, tapi akumulasi dari nilai tes harian, ekstra kurikulermid test dan final test. Dengan sistem seperti ini, tentu saja hampir 100% siswa naik kelas atau dapat lulus.
Selanjutnya siswa lulusan SMP dapat memilih SMA yang diminatinya, tetapi kali ini mereka harus mengikuti ujian masuk SMA yang bersifat standar.  Artinya soal ujian dibuat oleh Educational Board di setiap prefecture. Dalam memilih SMA, siswa berkonsultasi dengan guru, orang tua atau disediakan lembaga khusus di Educational Board yang bertugas melayani konsultasi dalam memilih sekolah. Ujian masuk pun hampir serentak di seluruh Jepang dengan bidang studi yang sama yaitu, Bahasa Jepang,English, Math, Social Studies, dan Science. Di level SMA ini, siswa dapat memilih sekolah di distrik lain.
Untuk masuk universitas, siswa lulusan SMA diharuskan mengikuti ujian masuk universitas yang berskala nasional. Ini yang dianggap `neraka` oleh sebagian besar siswa SMA. Sebagian dari mereka memilih untuk belajar di juku (les privat, seperti di Indonesia) untuk dapat lulus ujian masuk universitas. Ujian masuk Perguruan Tinggi dilakukan dua tahap. Pertama secara nasional, soal ujian disusun olehMinistry of education, terdiri dari lima bidang studi seperti ujian masuk SMA.   Berikutnya,  siswa harus mengikuti ujian masuk yang dilakukan masing-masing universitas. Skor kelulusan adalah akumulasi ujian masuk nasional dan ujian di setiap perguruan tinggi. Nanti hasil ujian tidak diumumkan, tetapi jawaban ujian diberitakan lewat koran, televisi atau internet, sehingga peserta ujian masuk perguruan tinggi harus menghitung sendiri skornya. Jika tidak memenuhi skor minimal yang disyaratkan di fakultas/universitas pilihannya, peserta dapat mengikuti ujian masuk perguruan tinggi swasta atau menjalani masa ronin (menyiapkan diri untuk mengikuti ujian masuk di tahun berikutnya) di prepatory school (yobikou ).
Penilaian mutu pendidikan di Jepang, dengan kata lain dilakukan dengan menstandarkan ujian masuk SMA dan perguruan tinggi.  Tentu saja sistem ini bisa berjalan karena pemerintah di Jepang pun berusaha maksimal untuk menyamakan kondisi public education-nya, dalam arti menyediakan infra struktur yang sama untuk setiap jenjang pendidikan di daerah.
Kebetulan saat ini saya dan keluarga tinggal di Jepang.  Saya sering sekali memperhatikan anak-anak sekolah di sini.  Dari mulai seragam mereka, tas ransel kotak yang mereka bawa, hingga perlengkapan sekolah yang mereka gantung di sekeliling ransel.   Entah, bisa jadi kesimpulan yang saya ambil salah.  Bahwa apa yang mereka dapatkan di sekolah, apa yang diajarkan oleh para sensei, bagaimana kerasnya alam Jepang mendidik mereka, telah memberi andil pada kemajuan Jepang saat ini.
Jika kita juga ingin maju, yuk benahi juga pendidikan kita.  Sejak pendidikan pertama yang didapatkan seorang anak, yaitu dari orang tuanya di rumah.  Artinya, ini tugas kita semua sebagai orang tua.  Berikanlah anak haknya, didiklah mereka dengan hati dan cinta.
Pemerintah juga terlebih dahulu harus membenahi sarana dan fasilitas pendidikan kita di seluruh wilayah. Memang ini tidak mudah, karena kita sedang berbicara dalam konteks Indonesia dengan ribuan pulaunya, dengan tingkat akses yang berbeda-beda.  Masih begitu banyak PR besar yang kita hadapi. Menurut saya, sebelum pemerintah disibukkan dengan isu “swastanisasi” PTN atau UAN yang katanya akan meningkatkan mutu pendidikan kita.  Alangkah lebih baik jika pemerintah berupaya keras terlebih dahulu memperhatikan pemenuhan pendidikan dasar 9 tahun.  Berupaya memperluas akses masyarakat untuk mendapatkannya.  Memperbaiki sarana dan fasilitas pendidikan di tingkat ini, meningkatkan kualitas guru, dan memperbaiki kurikulumnya.  Jika pendidikan dasar kita sudah mapan dan berkualitas, insya Allah jenjang pendidikan berikutnya, akan lebih mudah ditata dan ditingkatkan kualitasnya.  Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar